Selasa, 01 November 2011

Seri Mari Berdialektika (1) Pribadi vs Publik

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.


Teori borjuis mengatakan bahwa kehidupan kita dibagi dua aras (Publik dan Pribadi). Dengan demikian, ada hal yang digolongkan ke dalam kehidupan pribadi sementara hal lain dimasukkan dalam kehidupan publik. Dalam hal-hal yang termasuk “pribadi”, publik tidak boleh campur tangan. Sebaliknya, dalam hal-hal yang dianggap “publik” tidak boleh ada kepentingan pribadi di dalamnya.
           
Ketika kita belajar dialektika, kita diajari bahwa “Hal-hal yang bertentangan sebenarnya terikat satu sama lain dan saling menyaratkan” (interpenetration of the opposites) atau sering diterjemahkan (dengan agak keliru) sebagai “kesatuan hal-hal yang bertentangan” . Dengan dialektika, kita tahu bahwa dalam semua hal-hal yang nampaknya saling bertentangan terdapat ikatan yang tak terpatahkan, yang membuat keduanya bisa terus terlibat dalam kontradiksi, yang satu tidak dapat hadir tanpa yang lain, dan saling menghancurkan- saling membangun kembali.
           
Dengan dialektika, kita tahu bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak antara “pribadi” dan “publik”. Dalam setiap hal, setiap peristiwa dan setiap kejadian, kedua aspek ini hadir bersamaan sekaligus tarik-menarik dan berbenturan. Kondisi riil dan kontemporer dari tarik-menarik inilah yang memberi definisi pada kejadian/peristiwa/ hal tersebut sebagai “pribadi” atau “publik”.
         
Contohnya begini: Orang sering menganggap buang hajat sebagai satu hal yang “pribadi”. Kalau dilihat dari satu aspek, benar begitu, karena orang tidak bisa berbagi hajat. Misalnya, tidak bisa orang menitipkan buang hajat pada orang lain. Kegiatan itu harus dijalankan sendiri. Inilah aspek “pribadi” dari aktivitas tersebut.Tapi, sesuai dialektika, ketika aspek “pribadi” hadir, aspek “publik” akan menyusul rapat di belakangnya. Misalnya saja, kita “harus” buang hajat di WC. Ini adalah aspek sosial, norma, tradisi – sesuatu yang sangat “publik”. Kita bahkan tidak bisa memilih di mana kita bisa buang hajat. Sering kita temui tembok bertuliskan: “Yang buang hajat di sini: anjing!” Ada tekanan sosial yang memaksa kita membuat pilihan pribadi pada rentang-pilihan (option) yang disediakan oleh publik.
         
Begitu juga dengan memilih pekerjaan. Begitu kita mulai diharuskan memilih pekerjaan, kita memasuki sebuah arena yang sangat publik, sangat sosial, karena pekerjaan merupakan salah satu bidang yang berkaitan langsung dengan cara masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, pilihan pekerjaan yang terbuka bagi kita ditentukan oleh moda produksi yang berlaku dalam sistem masyarakat. Pilihan yang kita ambil dari rentang-pilihan (opsi) yang tersedia itu akan menentukan posisi kita dalam pertentangan kelas yang muncul dalam moda produksi bersangkutan.

Jika kita perbandingkan, aspek “pribadi” memang lebih dominan dalam kasus buang hajat sekalipun aspek “publik” tidak dapat dilepaskan daripadanya. Sebaliknya, dalam kasus memilih pekerjaan, justru aspek “publik” atau sosial yang lebih besar, sedangkan aspek “pribadi”-nya justru jauh lebih kecil.
            Kesalahan-kesalahan pandangan, yang bertentangan dengan dialektika dan ekonomi-politik (yang juga merupakan turunan dialektika), datang dari tekanan ideologi borjuasi – terutama ideologi individualisme. Kelas borjuasi memang menginginkan agar kelas pekerja merasa bahwa pilihannya adalah semata pilihan pribadinya – tanpa merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari konflik kelas – supaya lebih mudah ditindas dan ditundukkan. Ideologi ini juga yang mendorong terciptanya sistem kontrak – di mana seorang pekerja dianggap memilih pekerjaan semata sebagai bagian dari ranah “pribadi” sehingga ia juga harus mengikat kontrak pribadi dengan pengusaha.
            Ingatlah selalu dialektika dalam mengambil kesimpulan. Yang pribadi dan yang publik tidak akan pernah bisa dipisahkan, keduanya akan sama-sama hadir dalam satu peristiwa. Tinggal aspek mana yang sedang berdominasi. Dan jika aspek publik mendominasi, peristiwa/kejadian tersebut niscaya bersangkutan langsung dengan konflik kelas.